AKU INGIN MELIHAT SALJU
Mimpi ....
Setiap manusia memiliki mimpi
Namun tak semua manusia mampu mewujudkannya
Terdapat banyak alasan
Terdapat banyak tantangan
Serta keterbatasan
Ada yang bahagia karena mampu meraih mimpinya
Ada yang cukup dengan hanya mengenang mimpinya
Ada juga yang selamanya menjadi harapan yang menyakitkan ...
◦◦◦
Anis, seorang gadis
kecil berusia 9 tahun. Ia anak bungsu dari 2 bersaudara. Orangtuanya sangat
menyayanginya namun mereka terlalu sibuk mengurus pekerjaan sehingga membuat
Anis kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya. Akan tetapi, untunglah Anis
memiliki seorang kakak yang sangat mencintai Anis lebih dari dirinya sendiri.
Dia adalah Irvan.
Irvan adalah sosok kakak yang sangat
jarang ada, beruntunglah Anis memilikinya. Irvan yang baru saja menginjak usia
17 tahun dimana diusia seperti itu, ia harusnya lebih banyak menghabiskan masa
remajanya. Namun tidak demikian halnya dengan Irvan, dialah yang mengambil alih
tugas kedua orangtuanya untuk menjaga dan memberikan kasih sayang kepada Anis.
Anis sangat bahagia dengan hidupnya,
tetapi tak banyak yang tahu bahwa ia mengalami kelainan jantung sejak lahir.
Perkembangan jantungnya tidak dapat mengikuti perkembangan tubuhnya sehingga
jantungnya menjadi tidak stabil. Ia tidak akan hidup lama, itu merupakan opini
dari dokter berdasarkan medis. Anis mengetahui tentang keadaannya, ia tahu
bahwa ia tak dapat melakukan aktivitas seperti anak sehat pada umumnya. Oleh
sebab itu, ia tak dapt bersekolah seperti anak lainnya. Ia hanya home schooling, banyak kegiatan akan
membuat kondisi jantungnya melemah dan tidak stabil. Namun, ia tak sekalipun
menunjukkan raut kesedihan apalagi menangis. Selain itu, ia memiliki kakak yang
akan memberikan tangannya saat ia tak mampu meraih sesuatu, ia memiliki kakak
yang akan memberikan kakinya saat ia tak mampu berdiri dan berjalan.
Satu hal yang menjadi mimpi Anis
yang mungkin tak akan pernah terwujud adalah ia ingin melihat salju, ia ingin
pergi ke suatu negara yang terdapat salju. Ia ingin merasakan apa yang tak
pernah ia rasakan selama hidupnya. Tetapi mengingat kondisinya yang tak bisa
bepergian ke luar negeri karena kondisi jantungnya yang lemah, ia hanya bisa
terus berharap suatu hari dapat melihat SALJU.
◦◦◦
Di halaman rumah ..
Anis : Kak, kapan yah Anis bisa liat salju? (sambil bersandar di bahu kakaknya)
Irvan : Kapan saja kau bisa melihat salju.
Kakak akan membawakannya untukmu. (tersenyum
dengan wajah menatap lurus ke depan)
Anis : (cemberut)
Bukan salju buatan yang Anis maksud, tapi salju yang langsung turun dari
langit.
Irvan : Kau tau sendiri kan kalau negara kita
tidak ada musim saljunya.
Anis : (melepaskan
sandarannya) Meski Anis masih kecil, Anis juga tau hal seperti itu kak!
Irvan : Memangnya kenapa kau sangat ingin
melihat salju? (sambil memandang adiknya)
Anis : Anis juga ga tau. Tapi Anis rasa jika
Anis melihat salju, Anis akan lebih nyaman daripada sekarang.
Irvan : Hanya karena itu? (heran dengan alasan adiknya)
Anis : (mengangguk)
Irvan : Baiklah! Karena kakak tidak mungkin
menyuruh Tuhan untuk turunkan salju, kakak akan bawa kamu ke tempat yang dingin
dan seperti salju.
Mereka
lalu bergegas ke tempat yang disebutkan Irvan. Dan ternyata, mereka pergi
membuka KULKAS.
Anis : Kakak!! (berteriak)
Irvan : Bukan ini yang kakak maksud, kakak
hanya mau mengambil minum. Tapi kakak berjanji akan membawamu ke tempat yang ku
maksud, OK?
Anis : (mengangguk
setuju)
◦◦◦
Hari Minggu ..
Semua keluarga berkumpul, Anis sangat gembira karena tak biasanya
rumah jadi seramai itu. Namun sebenarnya ada satu hal yang disembunyikan oleh
orangtua dan kakak Anis. (flashback) Sewaktu orangtua Anis pulang dari
pekerjaan mereka, pihak rumah sakit menghubungi mereka untuk menemui dokter di
rumah sakit. Dokter merasa bahwa sebaiknya waktu Anis banyak dihabiskan bersama
dengan keluarganya sebab kondisi Anis sebenarnya sangat sulit, tetapi dia
merupakan anak yang sangat tegar. Oleh karena itu, keluarganya seharusnya
memberi motivasi untuk dirinya tetap bertahan hidup.
Anis : Anis tau apa
yang membuat mama, papa disini! Pasti jantungku sudah parah yah? (Kedua orangtua Anis saling memandang)
Kakak : Apa
maksudmu? Apanya yang salah kalo kita semua berkumpul seperti ini?? (nampak marah)
Anis : Ga ada yang
salah! Anis biasa nonton di TV kalo keluarganya sudah berkumpul semua, berarti
penyakit anggota keluarganya yang sakit sudah semakin parah. Anis benar, kan? (jawab Anis santai)
Mama : Irvan! Mulai
sekarang, jangan biarkan Anis menonton televisi! (tegas ‘Mama’ sambil berlalu dari ruang tamu)
Anis : (menunduk merasa bersalah)
Beberapa saat kemudian, berlangsunglah percakapan antara Papa dan
Mama Anis. Mereka membicarakan masalah kejadian di ruang tamu.
Papa : Seharusnya
kau tak perlu bersikap seperti itu padanya!
Mama : (mengacuhkan pernyataan suaminya) Anis
masih kecil, tapi dia bahkan lebih tegar dari banyak orang dewasa yang
mengalami penyakit yang sama.
Mama : Dia lebih
baik menangis sambil berkata ‘ibu! Aku tidak ingin mati, aku benci penyakit
ini’. Jika dia seperti sekarang, mungkin akulah yang akan mati lebih dulu.
Papa : Siapa bilang
anakku akan mati. Tidak! Dia anak yang tegar melebihi siapapun. Dia hanya tidak
ingin perasaan takut mati membayanginya. Itulah cara Anis untuk bertahan hidup.
Di lain tempat, Anis dan Irvan
sedang santai sambil merasakan kesejukan malam hari.
Anis : Kak! Anis
tau keadaan Anis sekarang, tapi Anis ga mau liat orang-orang disekeliling Anis
seperti ketakutan bahwa Anis akan segera mati.
Irvan : Kami semua menyayangimu
dan beginilah cara kami menyayangimu. (ucapnya
singkat)
Anis : Oh, ya!
Kapan kakak membawaku ke tempat yang kakak janjikan kemarin?
Irvan : Bagaimana
kalau besok?
Anis : OK. (mereka tersenyum bersama)
◦◦◦
Keesokan harinya ..
Sewaktu berada di ruang tamu, Anis
melihat secarik kertas tergeletak di meja. Ia membuka isi surat itu dan
membacanya.
To Irvan ..
Aku udah lama perhatiin kamu, tapi kamu kelihatannya cuek banget.
Apakah hari ini kamu ada waktu? Aku ingin ketemu sama kamu setelah pulang
sekolah di taman sekolah kita. Mau, kan? Plisssssssssssss.........
From Nisa
Selesai membaca surat itu, Anis
mengingat bahwa kakaknya berjanji membawanya ke suatu tempat.
Anis : Tapi
bagaimana dengan cewek ini? (bergumam
sendiri)
Tiba-tiba ..
Irvan datang mengagetinya. Anis
segera menyembunyikan surat yang dipegangnya. Irvan lalu berkata bahwa ia akan
membawa Anis setelah ia pulang sekolah.
Anis : Ki.. kita ga
usah pergi deh! (ungkap Anis ragu-ragu)
Irvan : Kenapa?
Bukannya kau ingin pergi?? (tanyanya
bingung)
Anis : Anis bilang
ga usah, kak! (jawab Anis sedikit kesal)
Irvan : Dek, kamu
kenapa?
Anis : (tak menjawab pertanyaan kakaknya dan segera
pergi meninggalkan kakaknya)
Di kamar Anis ..
Anis : Kalian semua
kenapa? Kalian punya kegiatan lain tapi karena aku, kalian membatalkannya. Aku
tidak pernah membenci sakit jantungku! Tapi kalo kayak gini...? (sambil menangis)
2 bulan kemudian ..
Anis harus di rawat dan tinggal di
rumah sakit karena penyakitnya sudah harus mendapat penanganan medis serius.
Setiap hari, orangtua Anis datang menjenguknya. Sebenarnya, mereka ingin
menemani Anis. Namun Anis menolaknya. Anis hanya ditemani oleh suster dan
perawat pribadinya. Sedangkan Irvan, ia menjenguk Anis setiap pulang sekolah
tanpa pernah absen seharipun.
Anis : Kakak tidak
perlu datang setiap hari, kakak kan mau UN? (kata
Anis lemas)
Irvan : Kakak malah
tidak bisa konsentrasi belajar kalau ga nengok kamu!
Anis : Oh, ya!
Bukannya ada kak Nisa?
Irvan : Sudah kakak
duga! Hari itu saat kita akan pergi, kamu menolaknya karena surat itu, kan? (tebak Irvan yakin)
Irvan :
Satu-satunya orang yang ada di hati dan fikiran kakak adalah Anis.
Anis : Aaahhh..
Apakah kakak menyukaiku? (pura-pura
kaget)
Irvan : Ya, kakak
menyukaimu dan kamu juga harus menyukai kakak dan tidak boleh fikirkan
laki-laki lain. Mengerti? (mencoba
membalas)
Anis : Anis kan
masih kecil, Anis mana mungkin tau hal seperti itu.
Irvan : Lalu kenapa
tadi kau menyebut soal Nisa? Apa maksudmu?
Anis : (mengalihkan pembicaraan) Ada satu
laki-laki yang ku fikirkan dan orang itu bukan kakak.
Irvan : Kau mencoba
mengalihkan pertanyaanku tadi, yah? Lalu siapa laki-laki itu?
Anis : Papa! (mereka tertawa bersama)
Esoknya di ruang
dokter ..
Papa : Bagaimana
kondisinya, dok? (tanyanya penasaran)
Mama : (memandang ‘Papa’ khawatir)
Dokter : Besok Anis
harus dioperasi. Maka dari itu, kami meminta kesiapan mental dari keluarganya
karena kami tidak tahu kemungkinannya seperti apa?
Mama : (memberanikan diri bicara) Artinya, jantung
Anis sudah tidak dapat sembuh, dok?
Dokter : (mengangguk lemah)
Tanpa mereka sadari bahwa sedari
tadi Irvan menguping pembicaraan mereka di depan pintu ruang dokter. Ia nampak
terpukul dan menangis terisak sambil menutup mulutnya agar tak ada yang
mendengarnya. Namun ia tak tahu bahwa Anis sudah berada di belakangnya dengan
duduk di kursi roda.
Anis : Kakak
kenapa?
Irvan terkejut melihat adiknya
berada persis di belakangnya, ia segera menghapus air matanya dan berkata tak
ada apa-apa namun Anis menyadari yang sedang terjadi dan berusaha mengajak
kakaknya jalan-jalan di rumah sakit. Anis tak mau menambah kesedihan kakaknya
dengan menanyakan sesuatu kepada kakaknya.
Cukup lama mereka berjalan, akhirnya
mereka memutuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon cemara yang ukurannya tidak
terlalu tinggi. Mereka terdiam sejenak, lalu tiba-tiba ada seseorang dari
belakang yang memanggil Irvan. Irvan pun menoleh. Ternyata orang yang
memanggilnya ialah sahabatnya ketika SMP. Ia masih mengenalinya. Irvan pun
bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri sahabatnya itu, kemudian
memeluknya.
Teman Irvan : Van!
Loe semakin ganteng aja, ga jauh beda dengan gue. (sambil memandang Irvan)
Irvan : Loe sedang
ngejek gue, ya!? (tersenyum kecil)
Teman Irvan :
Hehehe.. maksud loe apa Van? Loe nyindir tampang gue? (pura-pura kesal)
Irvan : Gue kirain
loe ga bakalan ngerasa kesindir, ternyata loe udah banyak berubah dari yang
dulu! (menggoda sahabatnya)
Teman Irvan : Ha..
sudahlah! Malas berdebat dengan loe. Loe kan tidak terkalahkan dalam berdebat
sejak SMP.
Selagi Irvan dan sahabatnya masih
bercanda, Anis yang sedari tadi duduk tetap di tempatnya sambil mendengarkan
gurauan kedua sahabat itu, merasa sedih. Ia merasa terasing dari kehidupan
orang-orang disekelilingnya karena ia merasa berbeda dengan mereka sebab
penyakit yang akan membuat hidupnya tidak lama lagi. Ia pun berinisiatif untuk
kembali ke kamarnya tanpa memberitahu kakaknya yang terlihat fokus pada
sahabatnya itu.
Di kamar rawat Anis
..
Irvan : (sambil membuka pintu) kamu udah tidur
yah?
Anis : (membuka mata lalu memandang kakaknya)
Irvan : Kalau belum
tidur, kakak temani sampai tidur, ya? (berjalan
mendekati ranjang Anis lalu duduk di samping ranjang)
Anis : (mengangguk)
Irvan : Kenapa tadi
kamu pergi gitu aja? Padahal kakak kan mau kenalin kamu ke sahabat kakak! (sambil memegang tangan Anis yang dingin)
Anis : Anis merasa
pusing, kak! Anis takut, Anis pingsan saat ketemu temen kakak. Jadi, Anis lebih
baik kembali duluan. Kakak ga marah, kan? (menatap
kakaknya penuh harap)
Irvan : Sifat kamu
yang dari dulu kakak tidak sukai adalah ini, kamu selalu saja menghindar dari
orang-orang sekitar. Bagaimana kamu bisa bersosialisasi dan punya teman? (nampak sedikit kesal)
Anis : Ini karena
penya ..
Tanpa sempat Anis
melanjutkan kata-katanya, Irvan memotong pembicaraan Anis dengan nada suara
agak tinggi dari sebelumnya.
Irvan : Jangan
selalu membawa-bawa penyakit kamu!. Lagian, semua orang-orang tedekat kakak
juga udah tau kamu sakit. Jadi ga perlu kayak gitu lagi. Buang jauh-jauh
fikiranmu itu atau kakak ga mau ngomong sama Anis lagi! (ungkap Irvan panjang lebar)
Anis : (dengan suara parau) ma .. maaf, kak!
Anis cuma takut
Irvan : Jangan
takut, dek! Kakak, mama dan papa selalu ada untuk Anis
Anis : Tapi kak,
sebenarnya aku tidak mau ketemu teman kakak karena.. karena nanti dia suka lagi
sama Anis. (pura-pura serius)
Irvan : Kamu,
disaat seperti ini masih bisa bercanda!? (tertawa)
Anis dan Irvan tidak pernah
bertengkar untuk waktu yang lama, mereka dengan waktu singkat akan akur kembali
setelah mengalami masalah. Hal itulah yang membuat ikatan persaudaraan diantara
mereka sangat erat bahkan mereka selalu terlihat berdua. Irvan sangat
menyayangi adiknya dan saat pertama kali ia mengetahui penyakit yang diderita
Anis, ia sangat shock. Ia tidak sanggup kehilangan adiknya, namun ia sadar
bahwa hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nyawa Anis sebab jantung Anis sudah
semakin parah bahkan dokter sudah angkat tangan terhadap penyakit Anis.
Satu-satunya hal yang sangat diinginkan Anis adalah melihat salju secara
langsung namun hal itu sungguh sangat mustahil. Irvan mencari cara agar Anis
bisa tetap mewujudkan keinginannya tanpa harus bepergian ke luar negeri.
Dua bulan sudah setelah Anis
dioperasi, Anis masih dalam keadaan yang tak menentu. Ia koma. Dokter tidak
bisa berbuat banyak. Keluarga Anis juga hanya bisa pasrah. Irvan yang harusnya
belajar untuk menghadapi UN, tidak bisa fokus sementara adiknya terbaring
dengan kondisi antara hidup dan mati.
Keesokan harinya, saat Irvan hendak
mengunjungi Anis, ia terkejut karena Anis tidak berada di tempat tidurnya. Ia
mulai berfikir bahwa Anis telah pergi meninggalkannya dan takkan kembali. Namun
ia berusaha membuang jauh-jauh fikiran itu, ia berusaha fokus mencari
keberadaan Anis. Ia mulai bertanya pada suster, tapi tak ada seorang pun suster
yang tahu keberadaan adiknya. Ia mulai ketakutan. Ia berlarian sepanjang rumah
sakit dan ia melihat orang tuanya berada di taman, ia bergegas menghampiri
mereka. Saat ia ingin bertanya tentang keberadaan Anis, orangtuanya
menghalanginya.
Papa : Kamu jangan
ribut, Anis sedang menulis sesuatu. Jangan ganggu dia! (khawatir)
Irvan : Kenapa
ngebiarin Anis keluar, dia kan baru sadar dari koma? (tak kalah cemas)
Mama : (sambil menangis) Biarkan Anis bahagia
untuk yang terakhir kali, Van!
Irvan : Apa maksud
mama? Mama sama papa pernah bilang jangan pernah nyerah pada penyakit Anis,
tapi sekarang!? (hampir menangis)
Anis : (mendekat pada kakaknya dengan kursi roda)
Kak! Lama kita ga ketemu, kakak udah belajar? Kakak harus lulus dengan nilai
paling bagus, ya kak! Supaya Anis ga malu
Irvan : Anis kamu
kembali ke kamar, yah!
Anis : Kakak
temenin Anis disini, ok? Anis janji ga bakalan lama (memelas)
Irvan : Anis, kamu
masih belum pulih. Ayo kakak antar Anis ke kamar!
Anis : Kak!
Irvan : ANIS
(berteriak)
Anis : Anis pengen
liat salju, kak! Kakak udah janji bawa Anis buat ngeliat salju tapi Anis udah
ga punya waktu banyak. Jadi Anis cuman pengen kakak nemenin Anis disini
Irvan : Kakak minta
maaf sudah teriak sama kamu. Tapi kamu janji hanya sebentar, yah?
Anis : (mengangguk)
Mereka pun duduk di bawah pohon yang
pernah mereka tempati dulu. Anis bersandar di bahu kakaknya sambil memejamkan
mata.
Anis : Kakak tidak
lupa janji kakak ke Anis, kan?
Irvan : Mana
mungkin kakak lupa!? Kakak janji kakak akan bawa kamu liat salju tapi kamu
harus sembuh dulu, OK? (air mata mulai
mengalir di pipi Irvan)
Anis hanya mengangguk pelan sambil
terus memejamkan mata. Tubuhnya terasa sangat dingin, wajahnya pun pucat
seperti mayat. Tiba-tiba ...
Irvan : Apa ini?
Salju turun? Tidak mungkin.. Bagaimana bisa? (kaget sekaligus bingung)
Anis : Tidak ada
yang tidak mungkin di dunia ini, kak! Mama selalu bilang itu ke Anis. Jadi Anis
percaya kalo salju ini pemberian Tuhan ke Anis karena Anis anak yang baik dan
selalu menginginkan salju. Benar kan, kak?! (suaranya
melembut dan terdengar pelan)
Irvan : Nis, ayo
kita masuk ke kamar! Disini semakin dingin. Nanti kesehatanmu bertambah parah. (desaknya khawatir)
Anis : Aku ingin
melihat salju. Sekaaliiiii saja. (suaranya
semakin melemah)
◦◦◦
3 tahun kemudian
Di Jepang ...
Seorang laki-laki
tampan berbadan tegak dengan kulit seputih salju sedang duduk di depan
Universitas Tokyo sambil mengamati turunnya salju. Dia adalah Irvan. Tak lama
kemudian, dari belakang terdengar panggilan seorang wanita menyebut namanya.
Wanita itu adalah Khairunnisa.
Beberapa waktu
kemudian, mereka mengobrol dengan santai.
Nisa : Jadi, kamu masuk jurusan kedokteran karena itu? Dan memilih
Jepang agar kamu bisa melihat salju? (tanyanya
penuh minat)
Irvan : (mengangguk pelan)
Ya. Karena hanya dengan melihat butiran salju ini, aku bisa melihat adikku yang
tersenyum padaku.
Nisa : Kau kakak yang baik! (tersenyum
tulus)
Irvan : Tapi... aku tidak bisa memenuhi permintaan adikku yang
terakhir sebelum dia meninggal. Seharusnya aku membawanya untuk melihat salju
yang sangat dia inginkan. Aku sangat menyesalinya. (menunduk berusaha menahan tangis)
Nisa : Jangan berkata seperti itu! Aku yakin Anis pasti juga tidak
menyukainya. Tenang saja, Anis pasti bahagia melihat kakaknya masih mengingat
hal yang sangat dicintainya. (sambil
menepuk pundak Irvan)
Irvan : (mengangkat wajah lalu
berbalik menatap Nisa sambil tersenyum) Terima kasih, Nis!
Nisa : OK! Hmm..
kalau begitu, aku pulang dulu, yah? Aku kedinginan. Kamu juga harus cepat
pulang. Kalau tidak, kamu akan membeku. (berlari
meninggalkan Irvan)
Irvan masih sangat menikmati salju
yang turun semakin banyak itu. Ia seakan merasakan Anis sedang bersandar di
bahunya seperti saat terakhir kali ia bersama Anis di rumah sakit. Lalu, ia
mengingat masa lalu.
Irvan : Jadi, salju
itu hanya salju buatan dan semua itu adalah rencana papa dan mama? (sambil duduk di ranjang kamarnya)
Papa : (bersandar pada tembok kamar) Ya. Semua
dokter dan suster juga ikut membantu karena mereka juga sangat menyayangi Anis.
(sambil tersenyum tipis)
Papa : (sambil menyerahkan secarik kertas pada
Irvan) Ini adalah surat dari Anis untukmu. Ia menyuruh suster menulisnya. Di
tengah kondisinya, dia masih sempat membuat surat hanya untukmu. Anis
benar-benar sangat menyayangi kakaknya.
Irvan : (mengambil surat dengan ragu) Tapi,,
Anis memiliki orang-orang yang menyayanginya saat kondisinya seperti itu. Itu
membuktikan bahwa Anis anak yang baik, kan Yah!? Kita semua adalah bukti kasih
sayang Tuhan pada Anis.
Papa : (mengangguk)
◦◦◦
Mengingat kejadian
itu, membuat Irvan kembali menangis. Ia kemudian mengambil secarik kertas dari
saku jeansnya dan membukanya. Ia selalu membawa surat Anis kemanapun ia pergi
dan kemudian membacanya.
KAK,
Anis ingin kakak tahu kalo Anis baik2 saja. Anis ga tau kapan surat ini sampai
ke kakak, tapi Anis ga mau kakak trus menangis karena Anis karna Anis tau kakak
ga bisa hidup tanpa aku, kan?
KAK,
Anis hanya buat surat untuk kakak karna Anis hanya tau banyak tentang kakak.
Tidak dengan mama ataupun papa. Anis merasa bersalah sih, tapi ku harap mereka
mengerti karna ada satu hal yang Anis belum sampaikan ke kakak tapi ke papa dan
mama udah.
Pertama,
Anis pesen kakak jangan cengeng nanti kakak ga punya temen. Anis ga bisa
selamanya di dekat kakak. Jadi, mulai sekarang kakak harus cari temen yang banyak.
Kedua,
kakak harus belajar sampai jadi orang sukses. Jangan malu-maluin, OK?
Ketiga
dan yang terakhir, Anis minta maaf karna udah bebanin kakak buat Anis bisa liat
salju. Tapi, Anis yakin Anis bisa liat salju kapanpun Anis mau kalo udah ada di
surga. Jadi, kakak jangan merasa menyesal ataupun merasa bersalah, ya kak?
Karna kalo tidak, Anis ...
Kakakku tersayang ...
Sewaktu kecil, kakak pernah
menggendongku saat kita berlarian di pantai dan aku terjatuh. Kakak sangat
cemas dengan nafas terengah-engah berlari sambil menggendongku. Padahal waktu
itu, aku bohong bilang kalo kakiku terkilir. Kakak adalah saudara paling
istimewa di dunia ini. Kakak sangat menyayangiku dan tidak pernah membiarkanku
sendirian menghadapi penyakitku.
Kak ...
Kakak pernah berjanji padaku kalo
kakak akan membawaku melihat salju. Tapi, aku sadar bahwa aku telah lama
melihatnya. Kebaikan hati kakak padaku memperlihatkan bahwa butiran salju putih
itu ada dalam hati tulus kakak menjaga, merawat, melindungi dan mencintaiku.
Adikmu ANIS! :)